Selama ini premi asuransi (premi rate) di Indonesia ditentukan berdasarkan nilai dari kendaraan itu sendiri. Dari mulai tahun produksi sampai wilayah operasi kendaraan tersebut.
Dikutip dari liputan6.com (04/08/17), semakin tua sebuah kendaraan, maka premi yang harus dibayarkan juga semakin mahal. Begitu pula jika kendaraan tersebut beroperasi di wilayah yang sering terjadi pengajuan klaim.
L. Iwan Pranoto, Head of Communication and Event Asuransi Astra, mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan kalau nantinya perhitungan premi juga berdasarkan perilaku dan identitas pengendara (tertanggung).
Ia juga mengatakan, bahwa praktik seperti itu (perhitungan premi berdasarkan perilaku tertanggung) sudah biasa di negara-negara maju.
Misalnya, hitungan premi juga akan berpengaruh terhadap seberapa sering tertanggung ketahuan melanggar peraturan lalu lintas. Semakin seseorang sering melanggar lalu lintas, maka premi akan semakin tinggi.
Selain pelanggaran lalu lintas, di luar negeri, premi juga akan berpengaruh berdasarkan usia. Jika tertanggung menggunakan kacamata, maka perhitunggannya akan berbeda, jelas Iwan.
Sayangnya, premi asuransi berdasarkan perilaku belum bisa diterapkan di Indonesia. Semua bisa terlaksana apabila ada pengaturan untuk itu, serta adanya infrastruktur dan teknologi yang memadai.
Infrastruktur yang dimaksud, misalnya semacam sensor kecepatan atau kamera CCTV yang bisa mengidentifikasi pelaku pelanggaran. Sementara teknologi, lebih kepada fitur di dalam mobil yang bisa “merekam” perilaku berkendara orang.
“Kalau teknologinya ada, valid, bisa kita pakai,” tutup Iwan.